Mencari Dewi Fortuna
Langit mendung berwarna abu-abu menggelayut manja di samping Sang Bulan. Daun-daun coklat di depan halaman menari-nari dimainkan angin malam. Tirai-tirai biru berenda perak berkibar-kibar menutupi jendela kamarku yang ada di lantai dua ini. Aku menyibakkan tirai itu perlahan, mencoba melihat apa yang ada di luar. Memandang segala keagungan-Nya di malam ini.
Perlahan rintik hujan turun, menyentuh dan membasahi wajahku. Aku kembali masuk dan menutup jendela kamarku rapat. Aku merapatkan mantelku dan menyalakan lampu. Kuambil diari biru muda bertempelkan bunga yang berwarna senada. Lalu, duduk di kasur empukku sambil menerawang ke langit-langit kamar.
“Terima Kasih Ya Allah, atas teguranMu padaku…” bisikku pelan, hampir tak terdengar. Hanya suara jangkrik dan kumbang yang membuat melodi malam. Aku membuka satu demi satu lembar-lembar diari biruku dan kembali mengenang masa itu. Masa di mana satu minggu telah kujalani…
***
“Tik, coba lihat ini!” seruku pada sahabatku, Atika, yang saat itu sedang ada di toko buku bersamaku. Rencananya, Tika ingin membeli sebuah novel berjudul Melodi Pagi Hari yang sudah diincarnya dua minggu yang lalu.
“Hmm…” kata Tika tak menanggapiku, seolah aku tak berada di sampingnya. Ia malah asyik membaca sinopsis novel yang mau dibelinya itu. Aku merengut, kayaknya perlu mengeluarkan jurus maut, nih!.
“Tik, Tika, Tika, Tika!!!” jeritku hingga hampir seluruh orang di toko buku menoleh ke arahku. Aku jadi malu sendiri.
Tika refleks menghentikan acaranya bacanya dan menoleh ke arahku.
“Apaan, sih? Kamu mau ngomong apa?” tanyanya. “Ya…nggak usah pake acara teriak segala dong!” lanjutnya .
Aku cemberut lagi dan berkata, “Coba deh, kamu lihat ini!”. Aku menyodorkan sebuah majalah padanya dan dia membacanya. Tepat pada halaman belakang majalah itu terdapat ramalan-ramalan zodiak untuk minggu ini.
“Kamu percaya nggak, sama yang kayak gini?” tanyaku pada Tika.
“Ya…enggaklah! Kita ini akhwat, sudah mengerti kalau ini jelas-jelas tahayul,” jawab Tika sambil menoleh kearahku, seakan-akan menasihatiku. Ya, menasihatiku.
Aku memang bukan akhwat seperti Tika, yang paham semuanya. Tapi, aku boleh dikatakan calon akhwat. Memang sebenarnya pada dasarnya aku tomboy. Sewaktu SMP hobiku seperti hobi pada anak laki-laki. Misalnya sepak bola, panjat tebing, basket, dan masih banyak lagi. Tapi kemauan dan hidayah-Nya muncul padaku semenjak aku kelas dua SMA. Saat aku sering mengikuti mentoring dan masuk ke Rohis sekolah.
“Memangnya, kamu percaya dengan ini?” tanya Tika membuyarkan lamunanku.
“A…eh…oh, ya enggaklah! Buat apa zodiak ginian?!” kataku tergagap, “Yuk, ah!”.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan barusan tadi. Walau masih tomboy-tomboy sedikit begini tapi aku masih percaya dengan hal-hal berbau feng sui dan zodiak yang kerap kali ditampilkan di TV atau di koran-koran lokal yang setiap hari kubaca. Kemudian, kucocokkan dengan hal-hal apa yang terjadi selanjutnya.
Sering juga ramalan itu benar-benar terjadi. Padahal aku tidak menginginkannya, tapi kalau ramalan itu baik, dalam hati aku memohon-mohon supaya itu benar-benar terjadi pada kehidupanku selanjutnya.
***
“Hayoo…bisa nggak yang nomor
“Siapa bilang aku nggak tahu!” jawabku bangga. Maksudnya supaya Tika, sang gadis itu, merasa kalah.
“Iya, deh!” katanya akhirnya. Malam ini, Tika belajar kelompok di rumahku untuk membahas soal-soal UN.
“Amay! HP-mu bunyi, tuh! Siapa tahu itu SMS dari ayahmu,” panggil Ibu dari dalam kamarku. Aku pun bergegas lari ke kamarku dan langsung menuju ke arah meja belajarku. Di
LIBRA
Nampaknya nasib anda minggu ini kurang beruntung. Dewi Fortuna sepertinya menjauhi anda untuk sementara. Hati-hatilah, akan ada gangguan dalam kesehatan dan keseharian anda.
Aku terhenyak. Aku berfikir, aku tidak ada memesan ramalan zodiak seperti yang ditawarkan di TV atau di majalah yang pernah kubaca. Buru-buru kulihat siapa yang mengirim pesan ini kepadaku.
Sebuah nomor yang tidak kukenal, bahkan dalam daftar semua kenalanku. Ah, mungkin saja ini salah sambung. Tapi…bukannya kata-kata ini yang biasa ditampilkan bila kita memesan ramalan zodiak seperti di TV-TV itu.
Aku memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Tampak Ibu mengobrol dengan Tika. Akrab.
“Gimana? Siapa tadi?” tanya Ibu.
“Salah sambung,” kataku singkat.
“Salah sambung kok lama amat,” cerocos Tika membuatku gugup.
“Pasti ada apa-apanya!” sambung adik cewekku, Vita. Aku merengut, menunjukkan mulut cemberutku.
Lalu mereka tertawa-tawa kembali melihat tingkahku. Yang kutahu, bayangan pesan itu terus melayang-layang di benakku seakan-akan hendak menerkamku saja.
***
Setetes embun menetes perlahan dari daun-daun hijau di samping jendela kamar Amay. Tubuh itu masih meringkuk malas di balik selimut berwarna biru muda dengan motif awan. Tak menghiraukan mentari yang sedang tersenyum ramah di luar.
KRIIINNGGG!!!!
Jam beker berbentuk kucing itu berbunyi dengan nyaring dan tepat pada saat itu juga sebuah tangan muncul menyelinap dari balik selimut dan mematikan jam itu tanpa sekalipun ada niat untuk bangun dan menjalankan aktivitas seperti biasa.
Alhasil, tepat pada pukul 08.25, aku terbangun dan langsung melihat jam dindingku.
“Astaga! Astagfirullahaladzim…” pekikku kecil. Buru-buru aku solat subuh didalam kamar. Sehabis itu aku pergi ke kamar mandi, tetapi sudah ada orang didalam.
Aku pun mengetoknya seraya bertanya, “Siapa di dalam?”.
Tak ada sahutan. Aku mencoba sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.
“Ini Ibu, May! Ibu mandi dulu, sebentar lagi Ibu berangkat kerja,” sahut seseorang didalam kamar mandi, yang ternyata Ibu.
Uuh..biasanya kalau Ibu mandi pasti lama!
Dan begitulah seharusnya. Akhirnya aku dihukum lari keliling lapangan sebanyak
Nampaknya ramalan yang kuterima semalam benar-benar terjadi. Rupanya kesialan-kesialan terus menimpa diriku. Buktinya, saat pulang sekolah aku terserempet mobil dan kebetulan dipinggir jalan ada sebuah kubangan lumpur yang besar. Bajuku kotor dan bau semuanya. Rasanya aku tak bisa menanggung semua ini.
***
Sore ini aku dan Tika seperti biasa, berjalan-jalan ke toko buku. Kali ini bukan novel yang dicari Tika, tetapi sebuah kumpulan cerpen dari pengarang-pengarang terkenal.
“Tik, kayaknya akhir-akhir ini Dewi Fortuna menjauh dariku,” kataku akhirnya memecah kesunyian.
“Maksudmu?”
“Sepertinya aku harus mencari Dewi Fortuna!”
“Maksudmu Dewi Fortuna teman sekelas kita waktu kelas satu itu?” tanya Tika tak mengerti.
“Bukan, tapi kesialan terus menimpaku semenjak kemarin malam,”. Dan akhirnya aku menceritakan secara panjang lebar mulai dari A sampai Z.
Tika pun mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Jadi…kamu percaya sama ramalan itu?” tanya Tika.
“Yah…kalau itu benar-benar terjadi persis seperti yang kualami apa boleh buat,”
“Jadi kamu percaya?”
“I…iya,” kataku gugup. Tika tersenyum kemudian tertawa-tawa, lama sekali.
“Itu aku!” katanya . Aku masih tak mengerti.
“Aku yang mengirimimu pesan itu!” jelasnya sekali lagi. Aku menganga tak percaya.
“Tap…tapi bukannya kamu ada didekatku sewaktu HP-ku bunyi?!” tanyaku masih tak percaya.
“Ya, ampun Amay…sekarang ini zaman sudah canggih. Aku emang ngirim pesan itu saat itu juga, dibawah meja ruang tamumu, didalam tasku. Tapi setelah aku ngirim, langsung kumatiin deh,” jelasnya panjang lebar. “Aku ‘
Aku masih terpaku.
“Kupikir kamu tak percaya dengan hal-hal begitu,”. Kali ini dia serius. “Coba kamu pikir, yang mengatur hidup dan mati, nasib kita, kesialan dan keberuntungan kita dalam hidup ini bukanlah manusia itu sendiri melainkan Allah Yang Maha Mengetahui segalanya. Pikirkan itu sekali lagi, Amaya!”.
Aku berfikir, benar juga kata Tika. Dalam satu hari ini aku ada juga mendapat keberuntungan. Ulangan Bahasa Indonesiaku mendapat nilai delapan atau bahkan sembilan keatas. Aku harusnya berterimakasih pada Tika yang selalu menasihatiku dan membawaku ke jalan yang benar.
***
Aku menutup lembar-lembar diary biruku pelan dan menutupi tubuhku dengan selimut sambil menerawang ke langit-langit kamar.
“ Alhamdulillah, Ya Allah…Engkau tahu bahwa aku lemah pada hal seperti itu dan kau memberi peringatan padaku dengan cara seperti itu ,” ucapku tertahan. Aku masih terpana atas kuasaNya yang begitu istimewa dan spesial yang sengaja diberikan padaku. Kalau Dia menegurku itu tandanya Dia sayang padaku,
“Bismika Allahumma ahya wa amut, amiin…” ucapku seraya menutup selimut tebalku dan masuk kedalam alam mimpi.
Diluar hujan turun sambil bertasbih memuji kekuasaanNya. Daun-daun bergoyang riang didahannya dan burung hantu menyanyikan simponi malam. Allahu Akbar, Allah Maha Besar…
Rintik masih menyentuh tanah dengan lembut. Selembut kasihNya pada hamba-hambaNya…
TAMAT
Samarinda, 12 Maret ‘07
TRI HANDAYANI, S. Pd.
Di awang-awang mimpi